Berita

Aturan Hukum Rancu, Masyarakat Pengguna Jasa Profesi Surveyor Dirugikan

Jakarta, 23 Maret 2020

Jakarta, ISI–Payung hukum mengenai profesi surveyor harus dapat memberikan informasi dan rincian tugas yang valid dan tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat. Sehingga, payung hukum ini dapat mengedukasi masyarakat mengenai penggunaan istilah survei di sektor lain dan dapat berkontribusi memberikan manfaat di bidang pemetaan sesuai kebutuhan masyarakat. Ketua Ikatan Surveyor Indonesia (ISI), Virgo Eresta Jaya, menjelaskan mengenai penggunaan terminologi surveyor di dalam draf Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia tentang Jasa Survei, saat Rapat Koordinasi ISI, di Jakarta, beberapa waktu lalu (19/3/2020). Peraturan ini merupakan revisi dari Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2019 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Jasa Survey Komoditas Perdagangan.
“Payung hukum itu harus berisi informasi yang rinci bukan menyesatkan bagi masyarakat mengenai profesi surveyor, agar ke depan, masyarakat dapat menggunakan jasa seorang surveyor andal sesuai kebutuhannya,” jelasnya, di Jakarta, Kamis (19/3/2020).

Virgo mengakui, secara pengertian, memang secara umum terdapat capaian yang sama antara profesi surveyor dan jasa survey di bidang komoditas perdagangan, yaitu melakukan teknik riset untuk penyelidikan atau peninjauan. “Secara umum, definisinya sama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu melakukan teknik riset, penyelidikan, peninjauan, tapi disinilah perlunya batasan tegas antara kedua sektor tersebut agar tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat sebagai pengguna jasa,” ujarnya. Sebagai informasi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan istilah survei sebagai teknik riset dengan memberi batas yang jelas atas data atau penyelidikan, peninjauan. Kata ini pun berarti pengukuran (bagi tanah).

Pada sisi lain, Virgo menjelaskan dari sisi kemandirian ilmu dan profesi, surveyor telah lebih dahulu dikenal dan diakui eksistensinya di bidang pemetaan. Di Indonesia, terdapat beberapa peraturan yang mengatur mengenai profesi dan profesionalisme dari seorang surveyor, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 134/Kep/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Surveyor Pemetaan.

Oleh karena itu, dia berpendapat penggunaan istilah ‘juru survey’ pada revisi draf Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2019 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Jasa Survey Komoditas Perdagangan menimbulkan kerancuan bagi keberlangsungan karir para profesi surveyor di bidang informasi geospasial. Definisi Juru survey hanya terbatas pada sektor perdagangan sehingga dapat terjadi tumpang tinding untuk profesi surveyor di bidang informasi geospasial. “Pemerintah harus mengambil sikap tegas agar tidak tumpang tindih berlakukan istilah tersebut,” jelasnya.

Berdasarkan draf Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia tentang Jasa Survei, jasa survey suatu kegiatan pemeriksaan, penelitian, pengkajian atau pengujian dan pengawasan atas suatu obyek yang ditentukan berupa barang yang meliputi keadaan, kondisi luar, pembungkus atau kemasan, mutu, jumlah, ukuran-ukuran panjang, berat maupun isi dan tanda-tanda pengenalnya, serta persyaratan yang ditetapkan, maupun lingkungan hidup yang meliputi baku mutu air, udara, maupun daratan dan lain-lain yang terkait, dan atas hasil kegiatan tersebut dibuktikan dengan diterbitkannya Laporan Survei (Survey Report) dan/atau Sertifikat Pengawasan (Supervision Certificate) maupun Sertifikat Pemeriksaan (Inspection Certificate). Sehingga, Pelaku jasa survey, menurut draf Permendag tersebut, adalah seorang surveyor yaitu seseorang yang memiliki keahlian di bidang jasa survei berdasarkan sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. *

Related Articles